img_head
ARTIKEL

PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL TERKAIT PENANGGULAN BENCANA

Peb13

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 338 Kali

PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL TERKAIT PENANGGULAN BENCANA
Catatan untuk Resistematisasi Buku Fikih Kebencanaan[1]

Oleh : Dr. H. Taqwaddin, S.H., S.E., M.S.[2]

 

I

Bencana menimbulkan implikasi dan dampak yang meluas dalam berbagai bidang kehidupan manusia, baik sosial, budaya, ekonomi dan termasuk pengaruhnya terhadap hukum. Hukum sebagai pengatur tata kelola pergaulan kemasyarakatan, baik dalam fungsinya berupa social engineering maupun social control. Idealnya, keberadaan hukum haruslah memberikan kepastian, kemanfaatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan bagi rakyat.

Terkait kebencanaan,  maka keberadaan hukum dan peraturan perundang-undangan harus mampu mengarahkan pada upaya-upaya mitigasi dan prevensi serta kesiapsiagaan menghadapi kebencanaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian : pengetahuan, sikap, kebijakan, perencanaan, peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya secara efesien dan efektif. Hal ini dimasudkan untuk menghindari dan menimalisir akibat-akibat dari kebencanaan (mitigasi), baik berupa korban jiwa, kerugian harta benda maupun  terjadinya perubahan tatanan kemasyarakatan. 

Kebijakan kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara sungguh-sungguh dan serius. Adanya kebijakan ini akan  berimplikasi pada kesiapsiagaan komunitas masyarakat, yang meliputi antara lain : pengetahuan dan sikap terhadap kebencanaan, rencana keadaan darurat, sistem peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya. Konkritisasi dari kebijakan kesiapsiagaan idealnya dituangkan dalam produk hukum, baik berupa produk hukum nasional maupun produk hukum daerah.      

II

Dalam Alinea IV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, telah dinyatakan bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dari prasa ini dapat dimaknai bahwa  maksud pertama dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) dan seluruh Tanah Air Indonesia dari berbagai macam ancaman, termasuk ancaman karena kebencanaan.

Dengan adanya klausul kontitusioal di atas, maka UUD 1945 menjadi payung hukum yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan berbagai upaya penanggulangan bencana, baik pada masa pra-bencana, tanggap darurat, maupun fase pasca bencana.

Derivasi dari Norma Kontitusi di atas, maka dibentuklah berbagai Legislasi Nasional (Undang-Undang) yang dimaksudkan sebagai hukum untuk mengatur aneka perlindungan kepada Rakyat dan Tanah Air Indonesia.  Kesiapan hukum dalam penaggulangan bencana, tidak saja dibutuhkan pada masa kesiapsiagaan, tetapi terlebih lagi pada masa tanggap darurat, masa rehabilitasi dan masa rekontruksi. 

Pada masa prabencana atau kesiapsiagaan menghadapi bencana diperlukan adanya ketentuan-ketentuan hukum, berupa Undang-Undang tentang, antara lain :

  • Penanggulangan Bencana, 
  • Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW)
  • Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP/M)
  • Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah
  • Bangunan dan infrastruktur
  • Pendidikan dan simulasi kebencanaan
  • Dan lain-lain

Kehadiran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjadi payung hukum bagi upaya penyelenggaraan penanggulaangan bencana di Indonesia dewasa ini. Sehingga, setiap peraturan perundangan harus sinkron dan harmonis dengan Undang-Undang Penanggulangan Bencana tersebut. Dan karena itu, setiap program dan kegiatan penanggulangan bencana harus merujuk ke undang-undang ini, baik pada masa prabencana, tanggap darurat, maupun masa pasca bencana.

Selanjutnya, pada masa tanggap darurat, Presiden RI dapat menerbitkan pernyataan keadaan bahaya yang mengacu pada Undang-Undang No. 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam konteks ini, bencana dilihat sebagai sesuatu yang mendesak dan dalam keadaan bahaya.

Pernyataan keadaan bahaya tersebut haruslah dilakukan oleh Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang, menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila: (a) keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat‐alat perlengkapan secara biasa.

Dalam keadaan darurat bencana maka para Anggota TNI, POLRI, ASN Medis, dan lain sebagainya sesuai undang-undang masing-masing wajib melakukan kegiatan dalam penanggulangan bencana.  Polisi bertugas melindungi jiwa raga dan harta masyarakat dari bencana (Ps 14-1 UU 2/2002). Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan pembiayaan, yang belum dialokasikan dalam APBN / APBD (Ps 27 UU 17/2003). TNI ikut membantu penanggulangn akibat bencana, pengungsian, dan bantuan kemanusiaan (UU 34/2004). Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Aceh dan Pemkab/Pemko wajib menangani / penanggulangan korban bencana alam dan sosial (UU No 23 Tahun 2014 jontho Ps 223 ; 1 UU No 11 Tahun 2006). Pemerintah wajib menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil sesuai standar pelayanan minimum. Pemulihan kondisi dampak bencana, dan penetapan status tingkatan bencana. (Ps 7 & 8 UU 24/2007). Pelayanan kesehatan harus diberikan pada korban bencana (UU 36/2009).

III

Terdapat begitu banyak aspek hukum terkait dengan kebencanaan, baik bagi korban, keluarga korban, komunitas korban, pemerintahan desa, pemerintahan daerah, hingga pemerintah pusat maupun terhadap multipihak lainnya. Secara sederhana permasalahan hukum terkait  kebencanaan meliputi aspek-aspek dalam :

  1. Hukum Administrasi Pemerintah
  2. Hukum Perdata, dan
  3. Hukum Pidana 

 

Aspek Hukum Administrasi

Hukum Administrasi Negara adalah peraturan-peraturan mengenai segala hal ihwal penyelenggaran negara yang dilakukan oleh aparatur negara guna mencapai tujuan negara dan tujuan dibentuknya pemerintah. Aspek hukum administrasi meliputi semua hal yang menjadi urusan dan kewenangan pemerintahan, yang dalam hal ini  terkait dengan upaya penanggulangan bencana, baik pada fase pra bencana (mitigasi, edukasi, prevensi, dll), fase tanggap darurat (evakuasi, identifikasi, verifikasi, dll) maupun fase rehabilitasi dan rekonstruksi. 

Aspek hukum administrasi yang relevan dengan permasalahan kebencanaan, yang meliputi persoalan, antara lain :

  1. Mitigasi
  2. Kesiapsiagaan  
  3. aksi cepat tanggap darurat (evakuasi)
  4. perlindungan korban dan hartanya
  5. Pelayanan publik barang dan jasa untuk korban
  6. Pelayanan administrasi (sertifikat, ijazah, KTP, surat keterangan,  dll)
  7. Pendanaan penanggulangan bencana
  8. Peran internasional
  9. Bantuan dana, konsultan dan pekerja Asing
  10. Kemudahan perpajakan
  11. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)  yang aman bencana 
  12. Dan lain-lain

 

Terhadap semua hal di atas, idealnya, telah terdapat pengaturannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, masalah kesiapsiagaan, mitigasi, pendanaan dan peran internasional  telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana. Masalah evakuasi dan aksi cepat darurat telah diatur dalam UU TNI. Masalah perlindungan korban dan hartanya telah ada pengaturannya dalam UU POLRI. Perihal pelayanan barang, jasa, dan administrasi telah pula diatur dalam UU Pelayanan Publik. Begitu pula hal dengan aspek peran internasional, bantuan dana asing, konsultan dan pekerja asing sudah ada pula ketentuan terkait yang mengaturnya seperti dalam  UU No 37 Th 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan PP No 23 Th 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Sedangkan mengenai kemudahan perpajakkan telah pula ada ketentuan yang mengaturnya dalam berbagai UU Perpajakan.

Masalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang aman bencana atau yang mempertimbangkan aspek kebencanaan merupakan aspek penting yang harus dilakukan oleh pemerintah, yang perlu pula mendapat perhatian dalam Fikih Kebencanaan. Terhadap aspek-aspek hukum administrasi di atas, berupa peran-peran pemerintah dan pemerintah daerah yang  melindungi rakyatnya dalam penanggulangan bencana perlu penjelasannya dalam Buku Fikih Kebencanaan.

 

Aspek Hukum Perdata

Selain bagian dari aspek hukum administrasi, selanjutnya bagian terluas dalam penanggulangan kebencanaan adalah permasalahan keperdataan. 

Aspek hukum perdata adalah segala macam ketentuan yang mengatur urusan hak pribadi (privat/muamalah) dan kepentingan individu dalam masyarakat. Aspek hukum perdata dimaksud yang terkait dengan kebencanaan, antara lain masalah :

  1. Identitas korban
  2. Barang dan hak milik korban
  3. Bukti pemilikan barang
  4. Tanah milik korban
  5. Batas tanah korban
  6. Tanah hilang
  7. Bukti surat
  8. Surat yang berharga
  9. Tabungan bank
  10. Deposito
  11. Cheque dan giro
  12. Saham / efek
  13. Asuransi
  14. Pewarisan
  15. Hibah
  16. Wasiat
  17. Nonproletisi  
  18. Dll

 

Dalam peristiwa terjadinya bencana, masalah identitas korban adalah hal pertama yang harus bisa dipastikan. Hal ini penting karena perihal identitas korban akan berimplikasi pada persoalan harta benda kekayaan dan hak-hak yang dimilikinya. Hubungan hukum antara korban dengan harta miliknya diperlukan bukti-bukti, baik bukti surat, saksi, pengakuan maupun alat bukti sumpah. Mengenai jenis alat-alat bukti dan tata cara pembuktian telah terdapat pengaturannya dalam Hukum Acara Perdata kita, warisan era Hindia Belanda.

Dalam konsep hukum, hak merupakan hubungan hukum seseorang dengan sesuatu benda yang menimbulkan kewenangan-kewenangan tertentu bagi pemiliknya dan mewajibkan orang lain untuk menghormatinya. Kepemilikan terhadap sesuatu benda dilindungi oleh hukum. Dalam rangka perlindungan hukum terhadap kepemilikan sesuatu benda, khususnya terhadap benda tetap dan sebagian benda bergerak (kenderaan), Pemerintah mengatur dan menyediakan bukti-bukti kepemilikan tersebut, seperti sertifikat hak atas tanah dan Buku Pemilik Kenderaan Bermotor (BPKB).

Terkait tanah dalam kebencanaan (gempa, tsunami, likuifaksi) berdasarkan riset kami di Aceh pasca tsunami 2004 (Taqwaddin), dapat dikategorikan ke dalam 4 (empat) masalah :

1) Hilangnya alat bukti Hak (Sertifikat dan alat bukti lainnya). Sebagian besar korban tsunami kehilangan alat bukti hak baik berupa sertifikat maupun alat bukti lainnya yang sebelumnya digunakan sebagai bukti kepemilikan tanah. Hilangnya alat bukti hak telah menghilangkan atau paling tidak mengaburkan data yuridis tanah. Hilangnya alat bukti beimplikasi pada hilangnya jaminan perlindungan hukum kepemilikan.

2) Hilangnya tanda batas bidang tanah. Bencana tsunami telah merusak dan menghilangkan tanda-tanda batas tanah. Hilangnya tanda-tanda batas tanah berakibat pada tidak diketahui lagi secara jelas batas sebenarnya dari bidang-bidang tanah.  

3) Hilangnya/meninggalnya subyek Hak (pemilik Tanah). Banyak subyek hak/pemilik tanah yang meninggal dalam bencana tsunami sementara tanahnya masih ada. Meninggalnya subyek hak berimplikasi pada persoalan perlindungan hak keperdataan seseorang. Ternyata tidak mudah membuktikan seseorang sebagai ahli waris yang sah dalam kondisi abnormal pasca tsunami. Kesalahan pembuktian dapat menghilangkan hak ahli waris yang sebenarnya. Meninggalnya subyek hak dan tidak ditemukannya ahli waris juga menimbulkan persoalan yang harus ada solusinya.

4) Musnahnya tanah. Bencana tsunami telah mengakibatkan sejumlah tanah di beberapa wilayah tertentu, terutama dalam radius beberapa ratus meter dari pinggir laut “musnah” (tanahnya musnah karena terendam air laut sehingga obyek hak hilang). Tanah-tanah yang musnah tersebut dulunya berupa kebun-kebun masyarakat ataupun tambak-tambak ikan.

Masalah lain dari bencana yang mengakibatkan meninggalnya korban adalah terkait dengan surat-surat yang berharga dan surat-surat berharga yang dimilikinya. Surat yang berharga adalah segala macam surat penting bagi pemilik atau yang tertera namanya dalam surat tersebut. Jenis surat yang berharga, antara lain : KTP, SIM, Ijazah, Sertifikat, Surat Izin, Surat Rekomendasi, dan bermacam akta lainnya. Sedangkan surat berharga adalah segala macam surat yang memiliki nilai harga yang dapat diuangkan. Termasuk dalam kategori surat berharga antara lain : uang cash, tabungan bank,  deposito, cheque dan giro,  saham / efek, asuransi, dan lain-lain.

Terkait dengan semua aspek keperdataan di atas perlu ada pengaturan hukum dan penjelasannya dalam Buku Fikih Kebencanaan. Hal ini penting agar masalah kebendaan terkait dengan korban bencana adanya kepastian dan keadilan, baik dari perpektif hukum nasional maupun dalam Fikih Kebencanaan.

Aspek hukum perdata lainnya terkait dengan keperdataan adalah masalah warisan, hibah, dan wasiat yang telah jelas pengaturan dan penjelasannya dalam Fikih Kebencanaan.

Masalah prinsip nonproletisi patut pula menjadi perhatian kita dalam hal terjadinya bencana. Nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Masalah ini perlu mendapat perhatian kita, karena pengalaman pasca bencana tsunami Aceh terdapat issu proletisi dan pendangkalan aqidah melalui bantuan asing.  

 

Aspek Hukum Pidana  

Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang, yang merupakan tindakan pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Adalah fakta bahwa sekalipun dalam kebencanaan, bahkan sedang masa panik dan darurat, perbuatan tindak pidana kerap juga terjadi. Adapun tindak pidana yang lazim  terjadi dalam kaitannya dengan kebencanaan adalah :

  • Pencurian
  • Penjarahan
  • Kerusuhan
  • Pelecehan
  • Perzinaan
  • Pemerkosaan
  • Penggelapan
  • Penipuan
  • pemalsuan
  • Pungli
  • Korupsi
  • Dan lain-lain

 

Pencurian dalam keadaan bencana seringkali terjadi. Bahkan pencurian kerap pula terjadi terhadap segala macam perhiasan (jam tangan, cincin, gelang, kerabu, kalung, kacamata) yang dipakai korban (meninggal dunia) saat terjadinya bencana. Bagaimanakah hukum fikihnya dalam hal ini ?  Siapakah yang akan menguasai dan memiliki semua kebendaan tersebut,  dimana ahli warisnya belum diketahui ? Bagaimanakah hukumnya mencuri barang-barang perhiasan yang dipakai si mayat  korban korban bencana ? Ada pula fakta bahwa para pemuda kampung mengambil semua perhiasan yang melekat pada korban bencana tsunami, lalu menyerahkan ke imam kampung. Lalu imam kampung tersebut menggunakan hasil penjualan dari perhiasan tersebut untuk melanjutkan kegiatan pembangunan mesjid. Bagaimanakah hukum fikihnya terhadap masalah ini ? ini fakta yang pernah kami alami masa bencana tsunami Aceh dulu.

Penjarahan barang, kerusuhan karena rebutan bantuan, penggelapan barang, penipuan, dan pemalsuan dokumen adalah sesuatu yang kerap pula terjadi dalam proses penanggulangan bencana, baik pada fase tanggap darurat, fase rehabilitasi, maupun fase rekontruksi. Tidak itu saja, bahkan tindak pidana pungutan liar (pungli), nepotisme, kolusi, dan korupsi juga sering terjadi dalam masa kebencanaan.

Kejahatan-kejahatan dalam masa bencana tentu saja harus memiliki konsekuensi pemidanaan yang lebih berat ketimbang jika tindak pidana tersebut dilakukan dalam keadaan non-bencana.  Hemat saya, terhadap semua aspek pidana ini diperlukan tidak saja perspektif hukum nasional yang ius constitutum, tetapi diperlukan pula penegasan penjelasannya dalam buku fikih kebencanaan yang ius contituendum sebagai hukum yang dicita-citakan dalam rangka mewujudkan keadilan substantif.

 

IV

Demikian  beberapa pokok pikiran yang dapat kami sampaikan sebagai catatan untuk menyempurnakan Buku Fikih Kebencanaan dalam perspesktif hukum nasional, baik dari aspek hukum administrasi pemerintahan, hukum perdata, dan hukum pidana. 

Disadari sepenuhnya bahwa catatan sederhana ini masih jauh dari harapan. Karenanya, masih diperlukan pendalaman dan penjabaran yang lebih luas terhadap semua permasalahan yang telah dikemukakan.  Fastabiqul khairat.

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

10 Januari 2019.

 


[1] Dipresentasikan pada acara Workshop Resistematisasi Buku Fikih Kebencanaan, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu 6 Jumadil awal 1440 H / 12 Januari 2019.

[2] Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Aceh, Dosen Fakultas Hukum dan Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Ketua Dewan Pakar Forum Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Aceh 2017 – 2022.