img_head
ARTIKEL

PUTUSAN SERTA MERTA

Okt31

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 8.777 Kali

 

PUTUSAN SERTA MERTA

Oleh : AINAL MARDHIAH, S.H., M.H.

Hakim Tinggi

 

 

Putusan serta merta adalah terjemahan dari uitvoerbaar bij voorraad yang artinya adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta merta artinya dapat langsung dilaksanakan eksekusinya meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

Hal tersebut bersesuaian dengan hasil Rakernas Mahkamah Agung tahun 2012 bahwa putusan serta merta adalah putusan   yang berisi amar, memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap bahkan meskupun terhadap putusan tersebut diajukan perlawanan atau banding.

Bahwa putusan serta merta adalah pengecualian dari isi Pasal 195 HIR  dan 196 HIR, Pasal 206 dan 207 RBg bahwa pemenuhan suatu putusan perdata baru dapat dilaksanakan baik secara sukarela maupun secara paksa melalui eksekusi, apabila putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yg menurut ketentuan Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan tersebut, sedang putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan menurut ketentuan Undang-Undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan tersebut misalnya verzet, banding dan kasasi.

Suatu putusan hakim yg telah berkekuatan hukum tetap sudah pasti dapat dilaksanakan secara sukarela oleh yang bersangkutan, yaitu oleh pihak yang dinyatakan kalah oleh putusan hakim. Apabila suatu perkara telah diputus dan telah memperoleh kekuatan hukum pasti, maka pihak yang dikalahkan secara sukarela dapat melaksanakan putusan tersebut tanpa perlu dipaksakan pelaksanaannya dengan bantuan alat-alat negara dan selesailah perkaranya  sebagaimana  tujuan para pihak perdata berperkara di pengadilan yaitu untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian.

Perlu diketahui bahwa dengan pembacaan putusan oleh hakim terhadap suatu perkara  belumlah selesai perkara tersebut. Putusan tersebut harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Supaya dapat dijalankan dan dilaksanakan putusan hakim haruslah mempunyai kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial artinya kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan hakim itu secara paksa dengan bantuan alat-alat negara. Muhammad Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bansung , Citra Aditya Bhakti , 1990 , hak 173 mengatakan bahwa adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim adalah kepala putusan yang berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Hakekat Putusan Serta Merta

Putusan serta merta adalah sebagai solusi untuk memulihkan hak secara cepat, tepat dan berkeadilan namun hakim dalam memutuskan serta merta harus cermat dalam melihat syarats-yarat yg ditentukan oleh Undang-Undang, memperhatikan SEMA yang berkaitan dengan putusan serta merta dan sifat eksepsionalnya.Putusan serta merta dapat dijatuhkan, apabila telah dipertimbangkan alasan-alasannya secara seksama sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku.

Lazimnya pelaksanaan putusan hakim, harus menunggu sampai seluruh putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun salah satu pihak ( tergugat) tidak mengajukan banding atau kasasi.

Pelaksanaan putusan pada dasarnya harus menunggu sampai dengan berakhirnya tenggang waktu (daluarsa) untuk melakukan upaya hukum hingga akhirnya putusan itu mempunya kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).Suatu putusan untuk memperoleh kekuatan hukum tetap, seringkali harus menunggu waktu yang lama, bahkan hingga bertahun tahun, terutama bila para pihak yang berperkara mengajuan upaya hukum baik berupa perlawanan, banding maupun kasasi. Putusan serta merta adalah pengecualian dari prinsip tersebut. Putusan serta merta juga merupakan terobosan sebagai upaya mewujudkan asas  hukum acara "Peradilan dilakukan dengan sederhanan, cepat dan biaya ringan" sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan Serta Merta dalam putusan hakim tidaklah diputuskan begitu saja oleh hakim. Prinsipnya setiap penggugat yang mengajukan gugatan ke Pengadilan berhak mengajukan permintaan kepada hakim yang memeriksa perkaranya agar putusan hakim dalam perkara tersebut dapat dilaksanakan serta merta. Persoalan apakah tuntutan tersebut akan dikabulkan atau tidak tergantung pada hakim yang memutuskan perkara tersebut.

Wewenang  menjatuhkan putusan serta merta hanya ada pada Penadilan Negeri. Pengadilan Tinggi dilarang menjatuhkan putusan serta merta.

DASAR HUKUM PUTUSAN SERTA MERTA

Bahwa aturan mengenai serta merta sudah beberapa kali dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung juga disinggung dalam Buku Kedua Pedoman Teknis Peradilan Administrasi Peradilan karena sifat putusan serta merta ini sangat esepsional.  Pada prinsipnya putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan kecuali dalam keadaan exeptional.

Bahwa Putusan Serta Merta diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat 1 RBG. Bahwa untuk mencegah agar hakim tidak begitu saja mengabulkan putusan serta merta maka Mahkamah Agung menerbitkan aturan lain berupa Surat Edaran yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 1969, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1971, Surat Edaran Mahkamah Agung  Nomor 6 Tahun 1975, Surat Edaran mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1978, Surat Edara mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001.

Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) RBG menjelaskan syarat syarat yang harus dipenuhi hakim dapat menjatuhkan putusan serta merta adalah gugatan didasarkan atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik, gugatan didasarka natas akta dibawah tangan yang diakui, dan putusan serta merta yg didasarkan pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adapun Pasal 54-57 Rv pengaturannya lebih luas. Pasal 54 mengatur syarat-syarat pengabulan dan pemberian jaminan atas pelaksanaan putusan tersebut. Pasal 55 mengatur kebolehan pelaksanaan putusan yang dijalankan lebih dahulu tanpa jaminan  tertentu. Sedangkan Pasal 56 Rv memberikan hak mengajukan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu pada tingkat banding.

Sedangkan SEMA No 3 Tahun 2000 menetapkan ada 3 hal yang harus dipenuhi hakim dalam memberikan putusan serta merta :

  1. Para hakim harus betut- betul dan sungguh sungguh dalam mempertimbangkan dan memperhatikan serta mentaati syarat-syarat yg harus dipenuhi sebelum mengabulkan putusan serta merta.
  2. Tentang keadaan keadaan tertentu dapat dijatuhkannya putusan serta merta selain keadaan yang sudah diatur dalam pasal 181 ayat (1) HIRdan 191 ayat (1) RBg . Keadaan tertentu yang dimaksud adalah gugatan tentang hutang piutang yg jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. Juga gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah gedung dan lain lain, dimana hubungan sewa menyewa sudah habis atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yg beritikad baik. Demikian pula dikabulkannya gugatan provisi serta pokok sengketa mengenai bezitsrecht.
  3. Tentang adanya pemberian jaminan yg nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.

Selanjutnya tentang Pengaturan putusan serta merta dalam SEMA No 4 Tahun 2001 point yang terpenting adalah tentang penegasan kembali soal jaminan dalam SEMA terdahulu  dimana ditegaskan bahwa tidak boleh ada putusan serta merta tanpa adanya jaminan yang sama nilainya dengan nilai barang.

Didalam Buku II Mahkamah Agung Pedoman Pelaksanaan tugas dan Administrasi Mahkamah Agung  secara tegas ditentukan Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan serta merta adalah:

  1. Surat bukti yang diajukan ( yang disangkal oleh pihak lawan) adalah sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya oleh tergugat.
  2. Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap ( in kracht van gewisjde).
  3. Apabila dikabulkan suatu gugatan provisional.
  4. Dalam hal sengketa bezit bukan sengketa hak milik .
  5. Sebelum menjatuhkan putusan serta merta Hakim wajib mempertimbangkanterlebih dahulu apakah gugatan tersebut memenuhi syarat-syarat formil, syarat mengenai surat kuasa dan syarat-syarat formil lainnya.
  6. Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang gugatannya tidak memenhu syarat formil yang dapat dibatalkannya putusan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
  7. Dilakukannya sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat atau terhadap barang-arang tertentu milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat, tidak menjadi penghalang untuk menjatuhkan putusan serta merta terpenuhi.
  8. Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg).
  9. Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan Negeri memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung  yang dideligasikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi.

Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta Ketua Pengadilan Negeri wajib memperhatikan SEMA No 3 Tahun 2000 dan SEMA No 4 Tahun 2001, yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta ( uitvoerbaar bij voorraad) harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No 3 Tahun 200 yang menyebutkan “ Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihaklain apabila ternyata di kemudian hari djatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama. Apabila jaminan tersebut berbentuk uang maka sesuai Pasal 54 Rv harus disimpan di Bank Pemerintah, dalam hal ini Rekening kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Pelaksanaan putusan serta merta suatu gugatan, yang berdasarkan adanya putusan hakim perdata lain yang telah berkekuatan hukum tetap tidak memerlukan uang jaminan.

Benda jaminan hendaknya yang mudah disimpan dan mudah digunakan untuk menggantikan pelaksanaan jika putusan tersebut tidak dibenarkan oleh ahkim banding/kasasi.Tidak dibenarkan penjaminan orang.Benda-benda jaminan dicatat dalam daftar tersendiri seperti daftar benda-benda sitaaan dalam perkara perdata.

Apabila eksekusi dilaksanakan dan akhirnya putusan dibatalkan maka harus dilakukan pemulihan seperti semula, jika objeknya masih utuh atau diserahkan kembali kepada Tergugat Eksekusi secara langsung tetapi jika telah dipindah tangankan kepad pihak ketiga atau dijual, dihibahkan maka pemulihan ke keadaan semula dilakukan dengan cara mengajukan gugatan.

Jika pihak ketiga melakukan lelang eksekusi maka harus dilindungi termohon eksekusi dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penggugat ( Pemohon Eksekusi Serta merta).