img_head
ARTIKEL

KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DAN UNUS TESTIS NULLUS TESTIS

Jul11

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 23.669 Kali

KEKUATAN PEMBUKTIAN

TESTIMONIUM DE AUDITU  DAN UNUS TESTIS NULLUS TESTIS

Oleh

AINAL MARDHIAH, SH., MH *

 

Pembuktian merupakan salah satu tahap dari proses pemeriksaan perkara yang sangat penting dan menentukan dalam pegambilan keputusan oleh hakim. Yahya Harahap menyatakan bahwa pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan Terdakwa. Ketentuan hukum acara acara pidana telah mengatur dengan jelas aturan mengenai pembuktian ini.  Maksud dan tujuan hukum acara pidana adalah untuk mempertahankan hukum  materil (KUHP dan Undang-Undang Khusus lainnya di luar KUHP).

Putusan hakim adalah produk pengadilan yang menjadi mahkota hakim, sebab keagungan dan kebesaran seorang hakim akan tercermin dari putusan yang dibuatnya. Pasal 1 ayat 11 KUHP menyatakan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum  sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Putusan hakim nantinya menjadi alat mengukur kepuasaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Yudikatif yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Oleh karena itulah dalam memutus suatu perkara atau sengketa hakim harus menggunakan semua daya upaya, baik berupa ilmu mapun rasa yang ada di nuraninya.

Ketajaman rasa dalam menganalisa kasus dengan mendasarkan peraturan yang ada tentang hal yang bersangkutan secara abstrak dan mengkonkritkannya dalam perkara yang dihadapannya akan melahirkan putusan yang dapat dipertanggung jawabkan. Hakim dalam menjalankan profesinya dan mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan yang eksekutabel harus bersikap etos (penuh integritas), patos (pertimbangan yuridis yang pertama dan utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan logos ( dapat diterima dengan akal sehat).

Tahapan terpenting dalam proses pemeriksaan untuk mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil adalah pembuktian.  Dalam  Kitab Undang-Undang  Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 misalnya  telah menyebutkan secara limitatif apa saja alat bukti  antara lain yaitu:

1.       Keterangan Saksi;

2.       Keterangan Ahli’

3.       Surat;

4.       Petunjuk dan

5.       Keterangan Terdakwa

 

Perkembangan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap perkembangan hukum terutama tentang alat bukti sehingga  Pasal 184 KUHAP yang mengatur tentang alat bukti tidak menjadi limitatif lagi karena dokumen dan informasi atau bukti elektronik yang pada awalnya dalam Undang undang tindak pidana korupsi UU Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai bukti petunjuk namun berdasarkan Undang Undang Transaksi Informasi dikukuhkan menjadi alat bukti yang sah dan beridiri sendiri.

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP tersebut menjadi jelas bahwa dalam penyelesaian perkara pidana keterangan saksi sebagai urutan pertama. Hakim  akan mempertimbangkan terlebih dahulu alat bukti keterangan saksi, baru kemudian alat bukti yang lain untuk menambah keyakinannya tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan penuntut umum kepada Terdakwa. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali  apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pasal 185 KUHAP secara rinci mengatur  tentang Keterangan Saksi yang mempunyai nilai pembuktian di persidangan antara lain sebagai berikut:

  1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
  2. Keterangan saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
  4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu sama dengan lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaaan tertentu;
  5. Baik pendapat maupun rekaaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;
  6. Dalam menilai keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
  1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya;
  2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lainnya;
  3. Alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
  4. Cara hidup dan kesusilaaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Kemudian dalam Undang Undang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 butir 27 KUHAP  disebutkan  keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyampaikan keterangan  dari apa yang diketahuinya  itu dalam persidangan.

Dari ketentuan diatas,  keterangan saksi yang dapat bernilai pembuktian apabila  disampaikan di ruang sidang tentang apa yang dialaminya, dilihatnya dan didengarnya sendiri. Hakim  tidak dapat menggunakan keterangan satu saksi sebagai alat bukti dan juga keterangan saksi yang hanya mendengar saja atau Testimium De Auditu atau hearing say.  Terhadap saksi de auditu ini  Andi Hamzah dengan mengutip pendapat wiryono menjelaskan bahwa..... Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan saksi itu hanya didengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan ini baik dan bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat dikesampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.............. Sedangkan terhadap Unus Testis Nullus Testis Andi hamzah berpendapat berdasarkan KUHAP bahwa keterangan satu saksi bukan saksi namun dikecualikan terhadap perkara dengan acara pemeriksaaan cepat “dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti saja’’.

Ketentuan Unus Testis Nullus Testis atau satu saksi bukan saksi tersebut dan Testimonium De Auditu tersebut tidaklah selalu dapat diterapkan dalam semua perkara yang dihadapkan ke depan persidangan. Dalam peristiwa pidana tertentu memang sama sekali tidak ada saksi yang melihat, mengalami  dan mendengar langsung selain korban peristiwa pidana itu sendiri, akibatnya  penuntut umum hanya menghadirkan satu saksi untuk membuktikannya, Contohnya perkara, pelecehan seksual, perkara kekerasan seksual, perkara kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak dan sebagainya. Peristiwa pidana atau tindak pidana tersebut tidak akan mungkin dilakukan terdakwa apabila ada saksi yang melihatnya. Sudah pasti yang melihat akan melakukan penghentian terhadap perbuatan pidana tersebut karena hal tersebut memang bertentangan dengan rasa kemanusiaaan, kepatutan, kepantasan, agama dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan keterangan saksi korban saja majelis hakim sejatinya dapat meyakini bahwa benar perbuatan pidana tersebut dilakukan terdakwa terhadap korban. Mengingat  bahwa untuk mampu berbicara dan menceritakan kepada orang lain saja korban sudah harus berjuang maksimal setidak tidaknya menahan malu yang dideritanya akibat perbuatan tersebut. Betapa tidak peristiwa hukum tersebut bukan saja meninggalkan trauma bagi korban tapi korban juga harus menerima hukuman yang tidak adil dari masyarakat. Korban seterusnya mendapat lebeling negatif dari masyarakat karena perbuatan dimaksud. Khusus dalam perkara yang terjadi antara seseorang yang tidak setara baik itu gender atau relasi kuasa seperti seorang mahasiswa dengan dosen, seorang anak terhadap ayah tiri/ kandungnya, seorang isteri terhadap suaminya dan sebagainya. Hakim dapat mempercayai keterangan korban tersebut sepenuhnya. Sebab untuk bisa melaporkan kepada yang berwajib perbuatan dari orang orang yang ditakutinya, berkuasa atasnya korban telah berupaya maksimal, mengorbankan perasaan hatinya sendiri. Jadi yang terpenting disini bukanlah saksinya tetapi relevansi keterangannya dengan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum.

Sehingga dalam perkara-perkara tertentu yang bersifat melindungi kepentingan kaum rentan terutama perempuan anak-anak dan difabel yang menjadi korban maka prinsip Unus Testis Nullus Testis dapat dilampaui hakim.  Tindakan itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi korban. Demikian pula dengan Testimonium De Auditu juga dapat diterima dengan alasan yang sama sebagaiamana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang mengakui keterangan saksi Testimonium De Auditu dalam peradilan perkara pidana.

Kesimpulan

Bahwa Keterangan satu saksi bukan saksi (Unus Testis Nullus Testis) dan keterangan saksi Testimonium De Auditu dapat dikesampingkan untuk perkara-perkara tertentu yang memang hanya ada satu saksi yang melihat, mengalami dan mendengarnya sendiri yaitu dalam perkara pelecehan seksual, kekerasan seksual, perkara yang korbannya anak, perkara kekerasan dalam rumah tangga   atau perkara yang berhubunan dengan kesusilaaan dimana korbannya adalah kaum rentan. Perluasan Pasal 184 KUHAP dengan maksud kepentingan terbaik bagi korban dan yang terpenting adalah relevansi keterangan saksi tersebut dengan perbuatan yang didakwakan penuntut umum.

*  Hakim Pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh