DAKWAAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : Dr. H. Taqwaddin, S.H., S.E., M.S.
Hakim Tinggi Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
Selama menjadi hakim yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tindak pidana korupsi pada tingkat banding, saya selalu memulai tugas dengan membaca cermat surat dakwaan. Ini penting dilakukan karena dakwaan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan, baik persidangan pada pengadilan tingkat pertama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri maupun pada Pengadilan Tinggi, bahkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Apakah surat dakwaan itu, apa isinya, siapa yang mendakwakan dan siapa pula terdakwa, serta bagaimana konsekuensinya merupakan hal-hal yang dibahas dalam tulisan sederhana ini.
Surat Dakwaan dan isinya
Hemat saya, surat dakwaan adalah suatu surat yang dibuat oleh penuntut umum yang memuat ; identitas terdakwa, uraian secara cermat kronologi perbuatan pidana korupsi yang dilakukan, kapan dan dimana dilakukannya perbuatan pidana yang didakwakan tersebut, ketentuan peraturan perundang-undangan apa saja yang telah dilanggar, dan rumusan ketentuan tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jontho Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang didakwakan kepada terdakwa, baik dakwaan primair maupun dakwaan subsidair.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu saya kemukakan bahwa berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hingga saat ini, hukum acara pidana yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada prinsipnya hukum acara yang berlaku untuk perkara tindak pidana korupsi adalah KUHAP sebagaimana juga berlaku untuk perkara pidana lainnya.
Siapakah penuntut umum dimaksud ? Menurut Pasal 1 angka 6 dan angka 15 KUHAP, Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang (KUHAP) untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Menurut Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), menentukan bahwa KPK melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
KPK dalam undang-undang di atas, diberi kewenangan untuk melakukan supervisi berupa pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yarrg berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam melaksanakan wewenang supervisi ini, menurut Pasal 10 A UU Nomor 19 Tahun 2019, KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Ketentuan Pasal 10 A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 di atas, senada dengan bunyi Pasal 25 UU Nomor 31 Tahun 1999, yaitu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Berdasarkan ketentuan dari dua undang-undang di atas, jelaslah bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi harus ditangani secara prioritas dan khusus. Oleh karena itu, maka pada lembaga penegak hukum masing-masingnya memiliki bidang tersendiri untuk menangani kasus tindak pidana korupsi. Pada Kepolisian Daerah memiliki Direktur Kriminal Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada Kejaksaan Tinggi ada Asisten Pidana Khusus Tipikor. Sedangkan pada pengadilan ada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tingkat pertama Pengadilan Negeri dan Majelis Hakim Tipikor Tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi dan Majelis Hakim Kasasi Tipikor pada mahkamah Agung Republik Indonesia.
Terkait kewenangan absolut mengadili perkara tindak pidana korupsi, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tegas ditentukan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Selanjutnya, terkait siapa hakimnya, Pasal 10 undang-undang ini mempertegas bahwa, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan. Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum setelah menerima berkas perkara dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik kepolisian yang untuk selanjutnya dilakukan penuntutan.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP) dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Menyangkut siapa atau apa identitas terdakwa telah ditentukan dalam Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang sering disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi ; nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
Dari ketentuan Pasal 142 KUHAP di atas, jelas ditentukan bahwa yang membuat surat dakwaan adalah Penuntut Umum. Dan, salah satu isi dari dakwaan tersebut adalah adanya indentitas terdakwa sebagaimana tersebut di atas kecuali perihal pendidikan terdakwa.
Mengenai tingkat Pendidikan tidak diperintahkan oleh KUHAP. Tetapi dalam prakteknya, sering pula penuntut umum mencantumkannya. Menurut saya, bagus juga jika dicantumkan tingkat pendidikan terdakwa. Paling tidak, ini akan menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan berat ringannya hukuman yang dikenakan kepada terdakwa (strafmaat).
Selain identitas sebagaimana dikemukakan di atas, dalam surat dakwaan juga harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Uraian yang lengkap dimaksud harus dinarasikan secara kronologis berdasarkan urutan waktu perbuatan pidana yang didakwakan dilakukan, meliputi kapan dan dimana serta peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar.
Mengenai uraian peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar, Jaksa Penuntut Umum harus secara tegas dan jelas menyebutkan undang-undang apa atau peraturan apa serta menegaskan pasal-pasal serta ayat berapa saja yang telah dilanggar. Misalnya, dalam perkara korupsi dana desa, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya harus menyebutkan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, beserta turunannya yang diatur dengan Peraturan Gubernur hingga Peraturan Bupati/Walikota yang memang benar-benar telah dilanggar oleh terdakwa.
Begitu pula halnya jika modus korupsi lain, misalnya korupsi proyek pembangunan fisik jalan, jembatan, jeti (pangkalan kecil untuk perahu nelayan, bot penumpang dan feri), dan lain-lain juga harus mencantumkan peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar yang relevan dengan kasus yang didakwakan.
Pencantuman peraturan perundang-undangan yang dilanggar ini penting dilakukan karena sesuai dengan azas hukum, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Azas ini secara tegas telah diatur dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi, “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Artinya, mesti ada ketentuan yang dilanggar terlebih dahulu, baru dapat dilakukan dakwaan atas pelanggaran peraturan perundangan-undangan dimaksud.
Uraian tempat dimana perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus ditulis secera tepat dan benar. Hal ini penting dinyatakan secara tepat karena menyangkut kompetensi relative suatu pengadilan. Jika perbuatan pidana itu terjadi di Wilayah Hukum Aceh Utara misalnya, maka lembaga yang berwenang menyidik, menuntut, dan mengadili adalah Polres Aceh Utara, Kejaksaan Negeri Aceh Utara, dan Pengadilan Negeri Lhoksukon. Tidak boleh dilakukan oleh Polres, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri lainnya.
Dalam prakteknya, untuk mempertegas kompetensi relative dari suatu pengadilan dimana terjadinya tindak pidana korupsi, maka penuntut umum dalam dakwaannya seringkali menyebutkan misalnya, tindak pidana ini terjadi di Kabupaten Aceh Utara atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Jika juga diajukan dakwaan oleh lembaga penegak hukum yang tidak tepat, yang tidak sesuai dengan wilayah hukum tempat terjadinya perkara, maka hakim pengadilan negeri yang berwenang sesuai dengan kompetensi relatifnya akan memutuskan dakwaan tersebut tidak dapat diterima atau yang dalam istilah sehari-hari dikenal dengan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena mengandung cacat formil. Begitu pula halnya dengan perkara korupsi.
Harus dipastikan bahwa Terdakwa tersebut telah cukup umur atau dewasa. Hal ini penting karena ancaman sanksi untuk terdakwa anak berbeda dengan orang dewasa. Sehingga dengan mencantumkan umur atau tanggal lahir maka akan tampak jelas apakah yang didakwakan itu seorang dewasa atau masih anak-anak. Menurut Hukum Pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal Pasal 72 KUHP, umurnya belum cukup enam belas tahun dinggap belum dewasa.
Konsekuensi terhadap Dakwaan
Semua hal di atas harus terurai secara jelas. Jika tidak, maka konsekuensinya terhadap dakwaan dari penuntut umum menurut (M. Yahya Harahap, hal. 57 ; 2008), adalah sebagai berikut:
- surat dakwaan batal demi hukum,
- dakwaan jaksa tidak dapat diterima,
- apa yang didakwakan tanpa didukung alat bukti yang sah,
- apa yang didakwakan bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran,
- apa yang didakwakan tidak sesuai dengan Tindakan yang dilakukan, dan
- kekeliruan mengenai orangnya.
Ad. 1. Surat Dakwaan Batal Demi Hukum
Dalam hal surat dakwaan tidak memuat semua unsur yang ditentukan dalam pasal pidana yang didakwakan atau tidak menyebut tempat dan waktu kejadian atau tidak memerinci secara jelas peran dan Tindakan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b jontho Pasal 143 ayat (3) KUHAP. Dengan demikian, berarti penuntut umum telah keliru atau salah karena tidak menerapkan perintah KUHAP, yang karenanya surat dakwaan batal demi hukum.
Ad. 2. Dakwaan Jaksa Tidak Dapat Diterima
Apabila yang didakwakan sudah tidak boleh lagi didakwakan kepada terdakwa, berarti dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Misalnya penuntutan dan peradilan melanggar asas nebis in idem sebagaimana ditentukan dalam Pasal 76 KUHP, yang berbunyi “kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, ofang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap”. Demikian juga penuntutan dan peradilan yang dilaksanakan terhadap terdakwa atas tindak pidana aduan dengan cara melanggar Pasal 72 KUHP.
Penuntutan dan peradilan yang dilaksanakan kepada terdakwa dalam contoh-contoh di atas merupakan kesalahan penerapan hukum. Dalam hal yang demikian memberi hak bagi terdakwa untuk menuntut ganti kerugian kepada pengadilan.
Ad. 3. Apa yang Didakwakan Tanpa Didukung Alat Bukti yang Sah
Dalam hal terdakwa dituntut dan diadili tanpa didukung oleh alat bukti yang sah sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian sebagaiamana ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, maka penuntutan dan peradilan tersebut menjadi tidak sah menurut undang-undang.
Seandainya seorang terdakwa didakwa, dituntut dan diadili yang kemudian ternyata apa yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasarkan alat bukti yang sah, sehingga apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan hakim, maka hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan pidana. Putusan pembebasan tersebut menjadi dasar bagi terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada negara karena telah dituntut dan diadili tanpa berdasarkan alat bukti sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Ad. 4. Apa yang didakwakan bukan merupakan Kejahatan atau Pelanggaran
Dalam hal terdakwa dituntut dan diadili berdasarkan surat dakwaan pidana, namun ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan bahwa apa yang didakwakan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka terdakwa harus dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini karena telah terjadi kekeliruan penerapan hukum atau terdakwa dituntut dan diadili tanpa berdasar alasan undang-undang.
Terhadap peristiwa hukum di atas, memberikan hak kepada terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan alasan karena telah terjadi kekeliruan penerapan hukum atau atas alasan dituntut dan diadili tanpa berdasarkan hukum.
Ad. 5. Apa yang Didakwakan Tidak Sesuai dengan Tindakan yang Dilakukan
Kekeliruan bisa terjadi apabila tindak pidana yang didakwakan berbeda dengan tindakan yang sebenarnya dilakukan terdakwa, namun tindak pidana yang sebenarnya dilakukan terdakwa tidak didakwakan kepadanya. Misalnya, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pencurian. Padahal tindak pidana yang sebenarnya dilakukan oleh terdakwa adalah penadahan, tetapi kejahatan penadahan ini tidak didakwakan. Maka, penuntutan dan peradilan yang seperti ini telah terjadi kekeliruan penerapan hukum. Atas dasar alasan kesalahan penerapan hukum di atas, terdakwa berhak mengajukan tuntutan ganti rugi seseuai dengan ketentuan Pasal 95 KUHAP.
Ad. 6. Kekeliruan Mengenai Orang
Dalam praktek penegakan hukum, sering terjadi salah penangkapan dan salah penahanan orang dalam proses penyidikan. Bahkan bisa jadi kesalahan itu berketerusan sampai pada proses dakwaan dan tuntutan serta peradilan. Misalnya yang paling terkenal dulu dalam kasus Sengkon dan Karta atas dakwaan kejahatan perampokan yang disertai pembunuhan. Setelah kedua terdakwa menjalani hukuman lebih dari dua tahun, barulah tertangkap dan diadili pelaku yang sebenarnya.
Dalam perkara di atas, penuntut umum dan hakim di pengadilan telah menuntut dan menghukum orang yang bukan pelaku tindak pidana. Telah terjadi penuntutan dan peradilan yang keliru terhadap orang yang bukan pelaku tindak pidana. Tegasnya telah terjadi kekeliruan mengenai orang yang disidik, didakwa, dituntut, dan bahkan diadili. Kesalahan ini bisa jadi karena bermula dari kesalahan penyidikan yang diikuti dengan kesalahan berikutnya, yang mengakibatkan terjadinya peradilan sesat.
Terhadap kesalahan di atas, terdakwa berhak mendapatkan ganti rugi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yaitu ; tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.
Semua ini nantinya akan mempengaruhi dan bahkan menentukan bagaimana putusan hakim. Oleh karena itu, seorang penuntut umum harus bekerja secara cermat, hati-hati, dan professional agar dakwaan dan tuntutan yang diajukannya terhadap terdakwa dikabulkan oleh majelis hakim.
Bentuk Dakwaan
Akhir dari suatu surat dakwaan perlu pula dicantumkan bentuk dakwaan. Dalam praktik dikenal ada beberapa bentuk dakwaan, yaitu :
- Dakwaan Tunggal.
Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya;
- Dakwaan Alternatif.
Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis. Lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Pada dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk Surat Dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau.
Contoh dakwaan alternatif: Pertama: Delik Suap (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) atau Kedua: Delik Gratifikasi (Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Delik suap diataur dalam Pasal 5 UU 20/2001 (UU Tipikor), Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggaranegara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Sedangkan delik gratifikasi dalam Pasal 12B UU Tipikor adalah Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran denganpotongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
- Dakwaan Subsidairitas.
Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsidairitas juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.
Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Dakwaan model ini lazim dipraktikkan dalam perkara korupsi.
Contoh dakwaan subsidairitas dalam Perkara Korupsi: Dakwaan Primair, misalnya ; Pasal 2 UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi, “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dakwaan Subsidair, misalnya ; Pasal 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Perbedaan nyata antara dakwaan primair dan dakwaan subsidair adalah pada pidana minimalnya. Pada Pasal 2 yang dijadikan dakwaan primair, pidananya minimal 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah. Sedangkan pada Pasal 3 sebagai dakwaan subsidair, pidananya minimal 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit lima puluh juta rupiah.
- Dakwaan Kumulatif
Dalam Surat Dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri.
Contoh dakwaan kumulatif: Kesatu: Delik Korupsi Kerugian Keuangan Negara (Pasal 2 UU Tipikor) dan Kedua: Delik Suap (Pasal 5 UU Tipikor) dan Ketiga: Delik Korupsi Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 8 UU Tipikor).
- Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair.
Contoh dakwaan kombinasi: Kesatu: Primair: Melawan hukum merugikan keuangan negara (Pasal 2 UU Tipikor); Subsidair: Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan yang merugikan keuangan negara (Pasal 3 UU Tipikor); Dan Kedua: Primair: Delik Suap (Pasal 5 UU Tipikor); Subsidair: Delik Korupsi penggelapan dalam jabatan (Pasal 8 UU Tipikor).
Kesimpulan
Akhirnya perlu saya kemukakan bahwa, semua proses penyidikan, dakwaan dan penuntutan akan berakhir pada meja hakim di pengadilan, sebagai lembaga berwenang memberi putusan yang putusannya dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Majelis Hakim-lah dengan integritas, kewibawaan dan kemuliaan yang ada padanya, yang didukung dengan segala alat bukti yang sah dan meyakinkan, mengadili dan memutuskan dihukum atau tidaknya seseorang yang didakwakan melakukan tindak pidana korupsi.