img_head
ARTIKEL

ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI DALAM KUHAP

Mei25

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 6.878 Kali

 
ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI DALAM KUHAP
Oleh : Dr. H. Taqwaddin Husin, S.H., S.E., M.S.
Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
 
     Dalam proses peradilan pidana, majelis hakim memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan alat-alat bukti dan barang-barang bukti. Baik alat bukti maupun barang bukti harus diperoleh secara sah, yang karenanya memberi keyakinan kepada hakim. 
Pentingnya akurasi alat bukti dan barang bukti dinyatakan dalam Amar Putusan Majelis Hakim dengan kalimat, misalnya ; “Menyatakan Terdakwa Fulan bin Polen terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana Dakwaan Primair”. Kalimat ini menunjukkan betapa pentingnya alat-alat bukti dan barang-barang bukti pada proses pembuktian di dalam persidangan. 
      Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). 
 
Intinya, hakim dalam memutuskan perkara mengacu pada alat-alat bukti dan barang-barang bukti. Pembuktian merupakan hal yang penting sekali dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara. Pertanyaannya yang manakah alat-alat bukti dan mana pula barang-barang bukti ?
     Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah :
     a. keterangan saksi,
     b. keterangan ahli,
     c. surat,
     d. petunjuk, dan
     e. keterangan terdakwa.
 
Pertama. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 KUHAP). Dalam sidang pengadilan saksi bisa secara bebas menguraikan fakta-fakta yang diketahuinya, tanpa ada tekanan dan intimidasi. Tetapi, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan  yang didakwakan kepadanya. Sehingga, minimal mesti ada dua orang saksi. 
 
Kedua. Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186). Perkembangan ilmu dan teknologi, terlebih lagi teknologi informasi, berdampak pada kualitas modus kejahatan, sehingga memerlukan metode pembuktian yang berbasis pengetahuan dan keahlian. 
 
Siapakah yang dimaksud dengan Ahli, sehingga keterangannya diperlukan dan menjadi pertimbangan hakim. Dalam KUHAP tidak ditegaskan kriteria seseorang dianggap sebagai ahli. Namun hemat saya, seorang akademisi ataupun praktisi yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan dan pengalaman dibidang tertentu bisa dianggap sebagai ahli. Hakim lah yang akan menilai relevansi keterangan ahli dengan kasus yang sedang disidangkan. 
 
Ketiga. Alat bukti lainnya adalah surat. Surat dimaksudkan disini harushlah dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan, berupa :
   a. berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat berwenang,
   b. surat yang dibuat menurut ketentuan perundangan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu.
     c. surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal tertentu yang dimintakan secara resmi padanya. 
 
Keempat. Petunjuk juga merupakan salah satu alat bukti. Petunjuk yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. 
 
Dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP dinyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
 
Kelima. Keterangan Terdakwa. Dimaksudkan dengan keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oeh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 
 
Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan Terdakwa saja tida cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 KUHAP). 
 
Inti dari ketentuan ini adalah keterangan terdakwa tersebut utamanya dinyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan di luar sidang, hanya dianggap sebagai tambahan jika diperlukan.
 
Penjelasan di atas baru terkait alat-alat bukti, belum membahas barang-barang bukti. Berikutnya akan saya lanjutkan dengan kajian tentang barang-barang bukti..
 
Perihal Barang Bukti
Mengenai barang bukti telah diatur 16 klausul ketentuan di dalam KUHAP. Yaitu
Pasal 5 (1), Pasal 8 (3), Pasal 18 (2), Pasal 21 (1), Pasal 40, Pasal 45 (2), Pasal 46 (2), Pasal 111 (1), Pasal 181 (1), Pasal 194 (1), Pasal Pasal 194 (2), Pasal 194 (3), Pasal 197 (1), Pasal 203 (2), Pasal 205 (2), dan Pasal 273 (3) KUHAP.
 
Dalam KUHAP memang  tidak disebutkan secara tegas pengertian barang bukti. Namun jika dicermati isi dari ketentuan-ketentuan di atas maka dapat dipahami bahwa barang bukti ialah setiap benda yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana (delik) atau sebagai hasil dari suatu tindak pidana, atau benda yang digunakan untuk menghalangi proses penydikan suatu tindak pidana, yang disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
 
Apa saja barang atau benda yang disita oleh penyidik yang dapat dijadikan sebagai barang bukti ? Hal ini dapat dirujuk pada Pasa; 39 KUHAP, yaitu :
1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
 
Dalam praktek di pengadilan, perihal barang bukti dinyatakan dengan tegas dalam Amar Putusan Hakim dengan kata-kata, “menetapkan barang-barang bukti berupa, misalnya antara lain ; dirampas untuk negara, dikembalikan kepada tersangka, dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk digunakan dalam perkara lain”.
 
Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa alat-alat bukti bertumpu dari informasi yang diberikan oleh orang, baik orang dalam kapasitas sebagai : saksi, ahli, pejabat berwenang, korban, maupun terdakwa tentang telah terjadinya perbuatan tindak pidana. Sedangkan barang bukti merupakan informasi yang “diterbitkan” oleh suatu barang, baik barang tetap maupun barang bergerak.
 
Bagaimana jika ada yang merusak, menghancurkan atau menghilangkan barang bukti ? Terhadap hal ini telah ditentukan dalam Pasal  233 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yaitu “Barang siapa yang sengaja merusak, menghancurkan, atau sengaja membuat tidak bisa digunakan lagi atau menghilangkan barang yang digunakan guna menyakinkan atau menjadi bukti kuasa yang berhak atau surat pembukti, surat keterangan, yang sementara atau selalu disimpan berdasarkan perintah kekuasaan umum atau yang diserahkan pada pegawai ataupun pada orang lain untuk kebutuhan jabatan, maka akan dihukum selama 4 tahun penjara”
 
taqwaddinhusin@yahoo.co.id