Dilema Penilaian Evaluasi Implementasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara dalam Kajian Kritis Filsafat
Oleh : Dr. Suharjono
Menjadi suatu yang menarik atas penilaian evaluasi implementasi sistem penulusuran perkara yang selanjutnya disebut EIS jika dikaji dari perpektif atau pendekatan Filsafat Ilmu. Hal ini bisa terjadi mengingat hakikat dari dasar masalah yang ada pada proses perkara dan perkaranya itu sendiri dalam proses peradilan.
Suatu proses penanganan perkara dan atas perkaranya itu sendiri sudah diatur prosesnya pada norma2 yang merupakan konsep dasar atau filosofi keadilan seperti azas audi et alteram partem, azas fairness, azas transparansi, azas yang mendalilkan pada prinsipnya pihak yang harus membuktikan dan lain2. Hal tersebut terdapat dalam azas hukum acara dan hal yang menyangkut substansi perkara, yang pada hakikatnya para pihak dalam proses perkara adalah untuk mencari keadilan. Dengan demikian proses penangan perkara dan esensi perkaranya itu sendiri sesuatu yang bernuansa mencari hakikat dari keadilan. Hal ini sesuai dengan irah2 pada putusan dan penetapan. Meski disisi lain sifat suatu norma adalah kepastian dan kemanfaatan hukum. Namun dengan norma juga bersifat sebagai menjamin terciptanya keadilan. Sehingga bisa dinyatakan suatu produk peradilan berupa putusan dan penetapan akan dapat dilaksanakan secara baik dan bersifat tidak menimbulkan kerugian adalah jika esensi dasar dari putusan itu didasarkan pada prinsip keadilan sebagai ruh dasarnya.
Namun disisi lain pada penilain EIS SIPP digunakan pendekatan hitungan angka2 atau matematika. Dengan demikian pada kajian kritis filsafat ilmu bisa terjadi benturan hakikat antara yang bersifat idealis yakni pada esensi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dengan pendekatan penilaian EIS yang menggunakan angka2. Sehingga hakikat dan sifat keadilan,kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, yang bersifat abstrak, umum dan universal diukur dengan angka2, yang diantara keduanya hakikatnya bersifat berkebalikan atau paradoksal.
Permalahan yang bersifat dilematis sebagaimana tersebut diatas, mengingat kajian ini bersifat kajian kritis dari filsafat ilmu, maka dilematika permasalahan dimaksud harus dikaji secara kritis dari tipologi filsafat ilmu yakni meliputi ontologi, estimologi dan aksiologi.
Dalam kajian kritis ontologis, pada hakikatnya bersifat untuk menjawab masalah yang terkait hakikat dari sesuatu atau hakikat dari yang ada. Hakikat ini sebagai suatu realitas yakni kenyataan sebenarnya dari sesuatu. Dengan demikian penilaian EIS pada proses penanganan perkara adalah dapat dimaknakan sebagai suatu penilaian atas proses pencarian suatu keadilan,kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, yang bersifat abstrak,umum dan universal dengan penilaian EIS yang menggunakan angka2, yang menjadikan sifat penilaian bersifat paradoksal, karena obyek penilaian dengan parameter penilaian tidak bersifat sinergis, mengingat obyek penilaian yang bersifat abstrak, umum dan universal dengan penilaian yang konkrit menggunakan angka2 yang bersifat material,dengan kata lain hal2 atau obyek yang bersifat filosofis idealis diukur dengan angka2 yang bersifat konkrit filosofis materialis.
Dalam kajian epistimologi dimaksudkan suatu kajian yang terkait hakikat dan ilmu pengetahuan, yang diperoleh melalui akal, indera, dan lain lain dengan menggunakan methode ilmiah/ilmu pengetahuan yang dapat berupa methode induktif, methode deduktif, methode posigivisme, methode kontemplatis, dan methode dialektif.
Dalam kajian epistemologis, yang bersifat pendekatan ilmiah, akan menimbulkan permasalahan filosofis yang bersifat radiks atau mendalam, mengingat obyek kajian yang bersifat filosofis idealis yang abstrak, umum dan universal, tentang proses dan esensi penanganan perkara yang terkait dengan keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum namun pada EIS diukur dengan angka2. Padahal masalah2 keadilan, kepastian hukum dan kemanfataan hukum tidak dapat diukur dengan pendekatan angka.
Namun hal tersebut dapat dimengerti, mengingat proses2 dalam penanganan perkara berakar dan berasal pada hal2 yang bersifat filosofis dan kemudian berkembang dan terbentuk dalam lapangan filsafat dan ilmu filsafat, yang berupa ketentuan2 dalam proses beracara, yang dimulai dengan pendaftaran perkara sampai dengan proses eksekusi atau BHT. Ketentuan tersebut berupa pengaturan pra persidangan, saat persidangan dan pasca persidangan, yang pada hakikatnya ketentuan2 yang berensi keadilan dan kepastian hukum. Penerapan ketentuan2 dalam proses perkara pada hakikatnya adalah ketentuan2 yang berensi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, yang bersifat filosofis idealis namun pada EIS diukur dengan pendekatan aplikasi2 teknologi informasi yang merupakan hasil karya cipta ilmu teknologi informatika, yang bersifat terapan, konkrit, yang bersifat filosofis materialistik. Sehingga pada dasarnya dalam kajian kritis filsafat ilmu, obyek kajian yang bersifat filosofis idealis tidak dapat diukur dengan pendekatan alat pengukur yang bersifat prakmatik materialistik.
Dalam kajian aksiologi, berkaitan dengan pelaksanaan suatu aktivitas yang berhubungan dengan moralitas atau nilai, dengan kata lain sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sehingga para pelaksana kekuasaan peradilan atau terkait dengan kekuasaan peradilan dalam proses penanganan perkara yang berensi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum harus berdasarkan pada teori nilai yang berisi dasar2 moral dan etika.
Dengan demikian pelaksanaan kegiatan terkait proses penanganan perkara oleh aparatur peradilan harus dilakukan berdasarkan hukum dan ketentuan teori nilai berisi etika dan moralitas. Peranan SDM dalam menjunjung tinggi hukum, etika dan moralitas sangat dituntut menghindari terjadinya suatu pelanggaran terhadap ketentuan hukum,etika dan moral. Sehingga tidak boleh terjadi trik2 negatif dalam proses penanganan perkara oleh aparatur peradilan dalam rangka memperoleh nilai dalam penilaian EIS, sebab jika hal itu terjadi maka akan terjadi suatu distorsi terhadap keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Hal ini sangat membahayakan penegakan hukum yang harus dilaksanakan dengan fairness, obyektif,transparan dan beretika dalam rangka mewujudkan peradilan yang agung sebagai visi peradilan. Apalagi dengan EIS justru dimaksudkan untuk dapat mendorong terwujudnya peradilan yang agung berdasar azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Apalagi dengan aplikasi administrasi proses penanganan perkara yang dikenal dengan SIPP yang mendata proses perkara akan terjadi transparansi, obyektivitas, fairness,cepat, dan biaya murah. Dengan demikian aparatur peradilan dalam mencapai nilai dalam EIS harus dengan pendekatan penegakkan hukum yang berlaku,keadilan, moralitas dan etika.
Dengan adanya EIS SIPP secara empiris berdasarkan penelitian observatif berdasar data pada SIPP proses peradilan yang sebelum menggunakan aplikasi SIPP dan EIS terlaksana dalam waktu amat lama bahkan bisa puluhan tahun bersifat bertentangan dengan azas cepat, saat ini sudah rata2 berjalan sesuai titik atur proses peradilan sesuai peradilan cepat. Namun tentunya harus dipahami angka2 pada EIS SIPP sifatnya hanya sebagai stimulan,dorongan dan motivasi untuk terwujudnya proses peradilan yang cepat,sederhana dan biaya ringan dalam rangka mewujudkan visi peradilan yang agung, bukan sekedar sebagai tujuan pencarian angka2 pada EIS SIPP yang dalam kajian kritis filsafat ilmu sebagai suatu hal yang dilematis karena bersifat paradoksal.