img_head
HUKUM

PEMBUKTIAN DAN PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PERKARA LINGKUNGAN HIDUP

Jun08

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 2.364 Kali

PEMBUKTIAN DAN PERTIMBANGAN HUKUM

DALAM PERKARA LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Syamsul Qamar, S.H., M.H.

Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh

 

Law enforcement, penegakan hukum dalam arti luas adalah mencakup kegiatan untuk menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun melalui penyelesaian  sengketa lainnya, non litigasi atau alternatif penyelesaian sengketa yang tujuannya adalah untuk memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan para pihak yang bersengketa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84, 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Demikian juga terhadap hukum lingkungan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam undang-undang disebutkan perlindungan dan pengelolaan lingkunga hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakkan hukum yang harus dilakukan secara integral dan sinergi.

Konsep hukum Lingkungan hidup ini sebagai upaya mengakomodir hak warga negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, setiap orang berhak mendapat mendapat pendidikan  lingkungan hidup. Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Setiap orang berhak mengajukan usul kegiatan apa yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

Tujuan Undang-Undang lingkungan hidup  hakikinya adalah untuk memenuhi hak asasi masyarakat akan lingkungan yang baik dan sehat, disamping itu juga Undang-Undang lingkungan hidup ini juga untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan  perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lindungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga secara sinergisitas penegakan hukum lingkungan harus dilakukan secara bersama-sama bahu membahu oleh kita semua, baik terhadap pemerhati lingkungan, LSM dan aparat penegak hukum harus seirama dan satu langkah serta mempunyai sikap keberpihakan terhadap lingkungan hidup.

Dalam arti yang lebih luas Penegakan hukum lingkungan hidup termasuk didalamnya adalah menyangkut konservasi Sumber Daya Alam Hayati sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dimana disebutkan bahwa konservasi alam adalah merupakan kegiatan menjaga dan melestarikan alam sebagai tempat tinggal manusia. Menjaga alam merupakan salah satu upaya penting agar kita sebagai manusia dapat hidup lebih lama, dan dalam kondisi lingkungan hidup yang baik. Ini semua membutuhkan komitment yang kuat bagi kita semua secara bersinergi baik itu penegakkan hukum maupun tindakan kita selaku warga masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan kita, maupun satwa dan tumbuhan yang ada disekitar kita.

Upaya Mahkamah Agung  Dalam  Menegakkan Hukum  Lingkungan

Mahkamah Agung telah membaca aspirasi dari kebutuhan tersebut, secara aspiratif telah menyikapinya  dengan mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakukan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, disebutkan dalam ketentuan tersebut hal-hal pokok yang esensial bahwa perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup pada peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan Mahkamah Agung. Pengaturan ini menunjukaan sikap dari Lembaga peradilan akan keseriusan dalam penanganan perkara di Lembaga peradilan untuk menghindari perbedaan dalam penanganan perkara lingkungan hidup.

Juga harus dipahami dalam penanganan perkara lingkungan hidup ini sangat kompleksitas dan bahkan kadang dibutuhkan bukti ilmiah (scientific evidence) sehingga diharapkan Hakim yang menangani perkara lingkungan hidup harus bersikap progresif harus berani menerapkan prinsip-prinsip  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta juga harus berani melakukan judicial activism (pilihan putusan mewujudkan keadilan), sehingga Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 36/KMA/SK/II/2013 serta memberlakukannya bagi Hakim yang menyidangkan perkara Linkungan Hidup, dengan tujuan :

  1. Membantu para Hakim baik Hakim pada peradilan Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Mahkamah Agung;
  2. Memberikan informasi terkini bagi Hakim dalam memahami permasalahan lingkungan hidup dan perkembangan hukum lingkungan;
  3. Melengkapi hukum Acara perdata yang berlaku yakni HIR/RBG, Buku II dan peraturan lainnya yang berlaku dalam praktek peradilan;

Penanganan perkara lingkungan hidup sangat diawasi dan dipantau oleh Mahkamah Agung hal ini merupakan perhatian yang serius oleh Mahkamah Agung terhadap putusan Hakim yang berada dibawahnya, hal ini sebagai wujud pelaksanaan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dalam angka 3 yakni Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, semua pejabat struktural dan fungsional ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup tersebut serta melaporkan secara priodik kepada Ketua Mahkamah Agung;

Sebagai perwujudan arti penting penanganan masalah lingkungan hidup ini Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 134/KMA/SK/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, disebutkan sebagai dasar pertimbangan bahwa pengadilan sebagai salah satu instrument penegakan hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan penegakan hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam yang baik berjalan di Indonesia, bahwa perkara lingkungan dan sumber daya alam perlu ditangani secara khusus oleh institusi pengadilan yang memahami urgensi perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam, bahwa agar hal tersebut dapat terlaksana Mahkamah Agung perlu mengembangkan sertifikasi hakim lingkungan hidup untuk menangani perkara lingkungan hidup dan sumberdaya alam;

Aktualisasi dari proposisi diatas, Mahkamah Agung telah mengupayakan Hakim Peradilan Umum  Tingkat Pertama dan Tingkat Banding diseluruh Indonesia dipanggil oleh Mahkamah Agung RI (Dirjen Badilum) memanggil Para Hakim untuk mengikuti Diklat Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup di Badan Diklat Kumdil Mahkamah Agung di Megamendung Bogor selama 9 (Sembilan) hari diberi bekal untuk mendapatkan sertifikasi Hakim Lingkungan yang nantinya diharapkan dapat melaksanakan tugas menyelesaikan perkara lingkungan hidup.

Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup ini sudah dilakukan oleh Mahkamah Agung, baik hakim Tingkat Pertama, tingkat Banding dan Mahkamah Agung sudah memberlakukannya sekian lama. Yang menangani perkara lingkungan hidup ini imperative harus hakim yang sudah bersertifikasi, sehingga Ketika perkara lingkungan hidup diajukan baik di peradilan tingkat pertama dan tingkat banding Ketua Pengadilan Negeri/Tingkat Banding harus menunjuk untuk diselesaikan oleh hakim yang bersertifikasi lingkungan hidup dan tidak boleh diberikan kepada hakim yang tidak bersertifikasi  hakim lingkungan hidup, kalau sampai ada perkara lingkungan hidup  oleh Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Tinggi diselesaikan oleh Hakim yang tidak bersertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, ini merupakan suatu kesalahan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Tinggi.

Pembuktian  dan  Pertimbangan hukum   Perkara  Lingkungan

Sebagaimana yang diintrodusir diatas  bahwa frame work lingkungan  hidup tidaklah hanya sebatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 saja, tetapi secara lebih luas dan integral adalah juga menyangkut Undang-Undang Nomor 5  Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, demikian juga dengan undang-undang perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 yang didalamnya masing-masing mengatur tentang pelanggaran dan pidananya yang apa bila terjadi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut diatas, secara normative harus ditegakkan sesuai hukum yang berlaku.

Secara hukum  pidana ketiga undang-undang tersebut adalah merupakan lex specialis  dalam penjatuhan pidana dari KUHP , demikian juga menyangkut hukum acaranya, apa bila ada pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang tersebut maka Undang-Undang tersebut merupakan Lex specialis dari KUHAP kita. Sebagaimana misalnya dalam perkara pembakaran hutan ini sangat kompleks pembuktiannya dan dibutuhkan bukti-bukti ilmiah ( scientifiec evidence), yang dalam KUHAP sebagaimana Pasal 184 ayat (1) secara limitative terbatas hanya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa.

Menyangkut pembuktian dalam suatu perkara tindak pidana demikian juga tindak pidana khusus  secara yuridis formil sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah menjadi tugas dan wewenang Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 143 (1) (2) KUHAP melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri dengan membuat surat dakwaan yang kemudian dibuktikan dengan Alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 (1) KUHAP.

Bagi Hakim yang memeriksa perkara Lingkunga Hidup dalam memeriksa dan memutus harus berpegang teguh pada prinsip  baik dalam pembuktiannya dengan prinsip “Sistim Negatif”(Negatif wettelyke)” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam  SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dalam menyidangkan perkara lingkungan hidup Hakim dituntut dalam law enforcement untuk bersikap  progresif dalam melakukan judisial activismnya serta harus ada keberpihakan kepada alam ( asas In dubio Pro Natura) serta juga menerapkan prinsip pertanggungjawab mutlak (Strict Liability). Sudah banyak contoh putusan-putusan Hakim yang progresif dan keberpihakan kepada lingkungan, baik ditingkat pertama, tingkat banding dan bahkan di Mahkamah Agung telah memberi kontribusi terhadap penegakan hukum lingkungan di Indonesia.  

Hakim harus pasti dalam keyakinannya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil keputusan menyangkut perkara lingkungan hidup dan karena putusannya tersebut akan berdampak kepada masyarakat sekitarnya dan khususnya terhadap linkungan hidup itu sendiri. Menurut Penulis sebagai Hakim Lingkungan hidup, kepada Para Pelaku kejahatan Lingkungan hidup ini harus diberi effek jera, sehingga masyarakat lain tidak mencontoh untuk mengikuti melakukan pelanggaran terhadap lingkungan hidup sebagaimana selama ini terjadi ditengah masyarakat kita, khusus di wilayah Aceh.

Menyangkut implementasi bahwa putusan Hakim dapat memberi kontribusi dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup yakni dengan memberikan legal reasoning yang menyelamatkan lingkungan hidup karena   suatu putusanan Hakim merupakan pertanggungjawaban hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga putusan tersebut mempunyai nilai objektif dan bermamfaat bagi kelestarian lingkungan hidup dimasyarakat kita.

Sebagai Ilustrasi saja Penulis sebagai Hakim Lingkungan Hidup telah beberapa kali menyidangkan perkara lingkungan Hidup dengan memegang prinsip In dubio pronatura  serta melakukan Tindakan yang progresif, dalam sikap ini Hakim dalam keadaan tetentu harus memposisikan diri untuk keluar dari prinsip positifisme  yang kaku serta dapat memberi keadilan substantif kepada lingkungan hidup dengan berpihak kepada alam sebagaimana prinsup in dubio pronatura tersebut yakni  dimana ketika itu  saya bertugas di Pengadilan Negeri Bandung Klas IA Khusus pada tahun 2005 pernah  menyidangkan gugatan class action terhadap TPA diLewigajah dengan Nomor 96/Pdt.G/2005/PN Bdg dengan Majelis Hakim Ketika itu adalah Wuryanto,SH, Hidayatul Manan, SH dan Syamsul Qamar, SH dimana pada waktu itu setelah Majelis Hakim melihat kelokasi bencana tersebut, memang ada kelalaian dari Pemerintah Daerah setempat, yakni tidak mengelola tumpukan sampah yang ada di Kota Bandung tersebut secara baik dan professional serta membiarkan saja tumpukan sampah tersebut menggunung, sehingga Ketika hujan berhari-hari pada waktu itu terjadilah  longsor terhadap sampah yang sudah menggunung, sehingga  menimpa pemukiman masyarakat serta memakan korban jiwa dan harta benda masyarakat disekitar lokasi tersebut. Majelis Hakim ketika itu sangat yakin akan kesalahan dan kelalaian Pemerindah Daerah setempat, sehingga majelis hakim secara aklamasi  pada waktu mengabulkan gugatan class action dari masyarakat korban Longsor TPA Leuwigajah, Kota Cimahi.

Sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Banda Aceh, juga ada beberapa putusan yang pernah penulis jatuhkan bersama dengan anggota majelis lainnya. Perkara Nomor 89/PID.SUS-LH/2022/PT BNA yakni terhadap Pembunuhan 5 (lima) ekor Gajah pada Tahun 2019 dikawasan hutan di Kabupaten Aceh Jaya  yang dilakukan oleh 9 (sembilan) orang Terdakwa yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut dengan menjerat gajah-gajah tersebut menggunakan kawat yang diberi aliran listrik, kemudian gajah-gajah tersebut dibunuh dengan dilukai  oleh Para Terdakwa sesuai perannya masing-masing. Dalam kasus ini setelah pemeriksaan dianggap selesai kemudian Jaksa Penuntut Umum menuntut Para Terdakwa masing masing dengan tuntutan yang bervariasi yakni 4 (empat) Tahun dan 6 (enam) bulan, 3 Tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00 dst. Kemudian Pengadilan Negeri Calang telah menjatuhkan putusan 3 (tiga) Tahun 4 (empat) bulan serta denda Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan seterusnya..

Majelis Hakim Tinggi yang terdiri dari Syamsul Qamar, SH.,M.H, Yus Enidar, S.H.,M.H dan H. Zulkifli, S.H.,M.H tidak sependapat tentang penjatuhan pidana kepada Para Terdakwa tersebut belum memberi effek jera kepada Para Terdakwa dan dirasakan belum mencerminkan perlindungan kepada satwa liar atas perlakuan para Terdakwa yang secara kejam yang telah membunuh 5 (lima) ekor gajah yang dapat mengakibatkan spesies gajah yang dilindungi menjadi berkurang, sehingga juga untuk memberi pelajaran bagi masyarakat lainnya, sehingga pidana yang dijatuhkan tersebut perlu di perberat lagi, sehingga pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Calang diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh diperberat selama 4 (empat) Tahun  dan 6 (enam) bulan, sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

          Kemudian pada tahun 2022 terhadap kasus pembunuhan 3 (tiga) ekor Harimau Sumatera yang dilindungi tersebut, yang terjadi di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur dilakukan oleh 2 Orang Terdakwa yang berasal dari luar daerah Aceh dilakukan dengan cara menggunakan jeratan babi, sehingga melukai dan membunuh 3 (tiga) ekor Harimau Sumatera yang dilindungi oleh Undang-Undang.

          Persidangan dilaksanakan Pengadilan Negeri Idi Kabupaten Aceh Timur, dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan 6 (enam) bulan  melanggar Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama Pengadilan Negeri Idi menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun  dan 4 (empat) bulan. Majelis Hakim Banding merasakan pidana tersebut masih terlalu ringan dan belum memberikan efek jera bagi Para Terdakwa serta belum berpihak kepada lingkungan hidup dan satwa liar yang dilindungi  sehingga dikhwatirkan akan diikuti oleh masyarakat lainnya, sehingga pidana Para Terdakwa diperberat menjadi penjara selama 2 (dua) Tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), Perkara Nomor 376/PID.SUS-LH/2022/PT BNA.

          Bahwa sebagaimana pendapat ahli hukum Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum adalah sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat, sehingga putusan-putusan Hakim yang menitik beratkan upaya penyelamatan lingkungan hidup, konservasi alam dan ekosistimnya adalah merupakan kontribusi penegakan hukum  (law enforcement) yang sangat berguna akan kelangsungan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya khususnya dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup.

26 Mai 2023, Penulis, Syamsul Qamar, S.H.,M.H  Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh.